Isnin, 23 Julai 2007

LARANGAN ISBAL [MELABUHKAN PAKAIAN HINGGA MENUTUP MATA KAKI]

LARANGAN ISBAL [MELABUHKAN PAKAIAN HINGGA MENUTUP MATA KAKI]

Oleh: Abu Abdillah Ibnu Luqman

Isbal ertinya melabuhkan pakaian hingga menutupi mata kaki, dan hal ini terlarang secara tegas baik karena sombong maupun tidak. Larangan isbal bagi laki-laki telah dijelaskan dalam hadits-hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang sangat banyak, maka selayaknya bagi seorang muslim yang telah redha Islam sebagai agamanya untuk menjauhi hal ini. Namun ada sebagian dari kalangan yang dianggap berilmu, menolak larangan isbal dengan alasan yang rapuh seperti mendakwa andainya tidak sombong maka dibolehkan?! Untuk lebih lanjut, berikut dipaparkan perkara yang sebenarnya tentang isbal agar menjadi pelita bagi orang-orang yang mencari kebenaran. Amin. Wallahul Musta'an.

[A]. DEFINISI ISBAL

Isbal secara bahasa adalah masdar dari “asbala”, “yusbilu-isbaalan”, yang bermakna “irkhaa-an”, yang ertinya; menurunkan, melabuhkan atau memanjangkan. Sedangkan menurut istilah, sebagaimana diungkapkan oleh Imam Ibnul 'Aroby rahimahullah dan selainnya adalah; memanjangkan, melabuhkan dan menjulurkan pakaian hingga menutupi mata kaki dan menyentuh tanah, baik karena sombong ataupun tidak. [Lihat Lisanul 'Arob, Ibnul Munzhir 11/321, Nihayah Fi Gharibil Hadits, Ibnul Atsir 2/339]

[B]. BATAS PAKAIAN MUSLIM

Salah satu kewajiban seorang muslim adalah meneladani Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam segala perkara, termasuk dalam masalah pakaian. Rasulullah telah memberikan batas-batas syar'I terhadap pakaian seorang muslim, perhatikan hadits-hadits berikut:
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

“Ertinya: Keadaan sarung seorang muslim hingga setengah betis, tidaklah berdosa bila memanjangkannya antara setengah betis hingga di atas mata kaki. Dan apa yang turun dibawah mata kaki maka bahagiannya di neraka. Barangsiapa yang menarik pakaiannya karana sombong maka Allah tidak akan melihatnya” [Hadits Riwayat. Abu Dawud 4093, Ibnu Majah 3573, Ahmad 3/5, Malik 12. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Al-Misykah 4331]

Berkata Syaroful Haq Azhim Abadi rahimahullah: “Hadits ini menunjukkan bahwa yang sunnah hendaklah sarung (seluar) seorang muslim hingga setengah betis, dan dibolehkan turun dari itu hingga di atas mata kaki. Apa saja yang dibawah mata kaki maka hal itu terlarang dan haram. [ Aunul Ma’bud 11/103]

Dari Hudzaifah Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:

“Artinya: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memegang otot betisku lalu bersabda, “Ini merupakan batas bawah kain sarung. Jika engkau enggan maka boleh lebih bawah lagi. Jika engkau masih enggan juga, maka tidak ada hak bagi sarung pada mata kaki” [Hadits Riwayat. Tirmidzi 1783, Ibnu Majah 3572, Ahmad 5/382, Ibnu Hibban 1447. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah 1765]

Hadits-hadits di atas mengisyaratkan bahwa panjang pakaian seorang muslim tidaklah melebihi kedua mata kaki dan yang paling utama hingga setengah betis, sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam haditsnya yang banyak.

Dari Abi Juhaifah Radhiyallahu ‘anhu berkata":

Aku melihat Nabi keluar dengan memakai Hullah Hamro' seakan-akansaya melihat kedua betisnya yang sangat putih” [Tirmidzi dalam Sunannya 197, dalam Syamail Muhammadiyah 52, dan Ahmad 4/308]

'Ubaid bin Khalid Radhiyallahu ‘anhu berkata: “Tatkala aku sedang berjalan di kota Madinah, tiba-tiba ada seorang di belakangku sambil berkata, "Tinggikan sarungmu! Sesungguhnya hal itu lebih mendekatkan kepada ketakwaan." Ternyata dia adalah Rasulullah. Aku pun bertanya kepadanya, "Wahai Rasulullah, ini Burdah Malhaa (pakaian yang mahal). Rasulullah menjawab, "Tidakkah pada diriku terdapat teladan?" Maka aku melihat sarungnya hingga setengah betis”.[Hadits Riwayat Tirmidzi dalam Syamail 97, Ahmad 5/364. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Mukhtashor Syamail Muhammadiyah, hal. 69]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah pernah ditanya tentang seseorang yang memanjangkan celananya hingga melebihi mata kaki. Beliau menjawab:’ Panjangnya qomis, celana dan seluruh pakaian hendaklah tidak melebihi kedua mata kaki, sebagaimana telah tetap dari hadits-hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam” [Majmu' Fatawa 22/14]

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “ Walhasil, ada dua keadaan bagi laki-laki; dianjurkan iaitu menurunkan sarung hingga setengah betis, boleh iaitu hingga di atas kedua mata kaki. Demikian pula bagi wanita ada dua keadaan; dianjurkan yaitu menurunkan di bawah mata kaki hingga sejengkal, dan dibolehkan hingga sehasta” [Fathul Bari 10/320]

[C]. DALIL-DALIL HARAMNYA ISBAL

Pertama:

“Dari Abu Dzar bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Ada tiga golongan yang tidak akan diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat dan bagi mereka adzab yang pedih. Rasulullah menyebutkan tiga golongan tersebut berulang-ulang sebanyak tiga kali, Abu Dzar berkata: "Merugilah mereka! Siapakah mereka wahai Rasulullah?" Rasulullah menjawab:
"Orang yang suka memanjangkan pakaiannya, yang suka mengungkit-ungkit pemberian dan orang yang melariskan dagangannya dengan sumpah palsu." [Hadits Riwayat Muslim 106, Abu Dawud 4087, Nasa'i 4455, Darimi 2608. Lihat Irwa': 900]

Kedua:

“Dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa yang melabuhkan pakaiannya karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat." [Hadits Riwayat Bukhari 5783, Muslim 2085]

Ketiga:

“Dari Abu Hurairah bahwasanya Nabi bersabda: "Apa saja yang di bawah kedua mata kaki di dalam neraka." [Hadits Riwayat Bukhari 5797, Ibnu Majah 3573, Ahmad 2/96]

Keempat:

“Dari Mughiroh bin Syu'bah Radhiyallahu ‘anhu, adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Wahai Sufyan bin Sahl! Janganlah kamu isbal, sesungguhnya Allah tidak menyenangi orang-orang yang isbal." [Hadits Riwayat. Ibnu Majah 3574, Ahmad 4/26, Thobroni dalam Al-Kabir 7909. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah: 2862]

Kelima:

“Waspadalah kalian dari isbal pakaian, karena hal itu termasuk kesombongan, dan Allah tidak menyukai kesombongan” [Hadits Riwayat Abu Dawud 4084, Ahmad 4/65. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah: 770]

Keenam:

Dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu berkata: "Saya lewat di hadapan Rasulullah sedangkan sarungku terurai, kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menegurku seraya berkata, "Wahai Abdullah, tinggikan sarungmu!" Aku pun meninggikannya. Beliau bersabda lagi, "Tinggikan lagi!" Aku pun meninggikannya lagi, maka semenjak itu aku senantiasa menjaga sarungku pada batas itu. Ada beberapa orang bertanya, "Seberapa tingginya?" "Sampai setengah betis."[Hadits Riwayat Muslim 2086. Ahmad 2/33]

Berkata Syakh Al-Albani rahimahullah: “Hadits ini sangat jelas sekali bahwa kewajiban seorang muslim hendaklah tidak menjulurkan pakaiannya hingga melebihi kedua mata kaki. Bahkan hendaklah ia meninggikannya hingga batas mata kaki, walaupun dia tidak bertujuan sombong, dan di dalam hadits ini terdapat bantahan kepada orang-orang yang isbal dengan sangkaan bahwa mereka tidak melakukannya karena sombong! Tidakkah mereka meninggalkan hal ini demi mencontohkan perintah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap Ibnu Umar?? Ataukah mereka merasa hatinya lebih suci dari Ibnu Umar?” [Ash-Shahihah: 4/95]

Berkata Syaikh Bakr Abu Zaid:” Dan hadits-hadits tentang pelarangan isbal mencapai derajat mutawatir makna, tercantum dalam kitab-kitab shohih, sunan-sunan, ataupun musnad-musnad, diriwayatkan dari banyak sekali oleh sekelompok para sahabat. Beliau lantas menyebutkan nama-nama sahabat tersebut hingga dua puluh dua orang. Lanjutnya: “ Seluruh hadits tersebut menunjukkan larangan yang sangat tegas, larangan pengharaman, karena di dalamnya terdapat ancaman yang sangat keras. Dan telah diketahui bersama bahwa sesuatu yang terdapat ancaman atau kemurkaan, maka diharamkan, dan termasuk dosa besar, tidak dihapus dan diangkat hukumnya. Bahkan termasuk hukum-hukum syar'i yang kekal pengharamannya."[Hadd Tsaub Wal Uzroh Wa Tahrim Isbal Wa Libas Syuhroh, hal. 19]

[D]. KEBURUKAN ISBAL

Kehaaraman isbal telah jelas, bahkan di dalam isbal terdapat beberapa kemungkaran yang tidak boleh dianggap remeh, berikut sebagiannya..

[1]. Menyelisihi Sunnah

Menyelesihi sunnah termasuk perkara yang tidak bisa dianggap mudah dan ringan, karana kewajiban setiap muslim untuk mengamalkan setiap sendi dien dalam segala perkara baik datangnya dari Al-Qur’an atau Sunnah.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Ertinya: Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul, takut akan di timpa cubaan (fitnah) atau ditimpa adzab yang pedih” [An-Nur: 63]

[2]. Mendapat Ancaman Neraka

Berdasarkan hadits yang sangat banyak berisi ancaman neraka [2], bagi yang melabuhkan pakaiannya, baik karena sombong taupun tidak.

[3]. Termasuk Kesombongan

Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah: “Kesimpulannya isbal melazimkan menarik pakaian, dan menarik pakaian melazimkan kesombongan, walaupun pelakunya tidak bermaksud sombong” (Fathul Bari 10/325). Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Waspadalah kalian dari isbal pakaian, karena hal itu termasuk kesombongan, dan Allah tidak menyukai kesombongan” [Hadits Riwayat Abu Dawud 4084, Ahmad 4/65, dishohihkan oleh Al-Albany dalam As-Shohihah 770]

Berkata Ibnul Aroby rahimahullah: “Tidak boleh bagi laki-laki untuk memanjangkan pakaiannya melebihi kedua mata kaki, meski dia mengatakan: “Aku tidak menariknya karena sombong”, karena larangan hadits secara lafazh mecakup pula bagi yang tidak sombong, maka tidak boleh bagi yang telah tercakup dalam larangan, kemudian berkata: “Aku tidak mau melaksanakannya karena sebab larangan tersebut tidak ada pada diriku”, ucapan semacam ini merupakan klaim yang tidak bisa diterima, bahkan memanjangkan pakaian itu sendiri menunjukkan kesombongan” [Fathul Bari 10/325]

[4]. Menyerupai Wanita

Isbal bagi wanita disyari’atkan bahkan wajib, dan mereka tidak diperkenankan untuk menampakkan anggota tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Orang yang isbal berarti mereka telah menyerupai wanita dalam berpakaian, dan hal itu terlarang secara tegas, berdasarkan hadits.

Dari Ibnu Abbas ia berkata; “Rasulullah melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki” [Hadits Riwayat Bukhari 5885, Abu Dawud 4097, Tirmidzi 2785, Ibnu Majah 1904]

Imam At-Thabari berkata: “Maknanya tidak boleh bagi laki-laki menyerupai wanita di dalam berpakaian dan perhiasan yang menjadi kekhususan mereka, demikian pula sebaliknya” [Fathul Bari II/521]

Dari Khorsyah bin Hirr berkata: “Aku melihat Umar bin Khaththab, kemudian ada seorang pemuda yang melabuhkan sarungnya melalui di hadapannya. Maka Umar menegurnya seraya berkata: “Apakah kamu orang yang haidh?” pemuda tersebut menjawab: “Wahai amirul mukminin apakah laki-laki itu mengalami haidh?” Umar menjawab; “Lantas mengapa engkau melabuhkan sarungmu melewati mata kaki?” kemudian Umar minta diambilkan guting lalu memotong bagian sarung yang melebihi kedua mata kakinya”. Kharsyah berkata: “Seakan-akan aku melihat benang-benang di ujung sarung itu” [Hadits Riwayat Ibnu Syaibah 8/393 dengan sanad yang shohih, lihat Al-Isbal Lighoiril Khuyala, hal. 18]

Akan tetapi laa haula wal quwwata illa billah, zaman sekarang yang dikatakan sebagai modern, kebanyaknnya telah berpakaian terbalik, yang laki-laki melabuhkan pakaianya menyerupai wanita dan tidak terlihat darinya kecuali wajah dan telapak tangan!, yang wanita membuka pakaianya hingga terlihat dua betisnya bahkan lebih dari itu. Yang lebih tragis lagi terlontar cemuhan dan ejekan kepada laki-laki yang memendekkan pakaiannya karena mencontoh Nabi dan para sahabat. Manusia zaman sekarang memang aneh, mereka mencela dan mengejek para wanita yang memanjangkan jilbabnya karena taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasulnya, akhirnya kepada Allah kita mengadu” [Al-Isbal Lighoiril Khuyala hal. 18]

[5]. Berlebih Lebihan

Tidak ragu lagi syari’at yang mulia ini telah memberikan batas-batas berpakaian, maka barangsiapa yang melebihi batasnya sungguh ia telah belebih-lebihan.

Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Artinya: Dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Alloh tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan” [Al-A’raf: 31]

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Apabila pakaian melebihi batas semestinya, maka larangannya dari segi isrof (berlebih-lebihan) yang berakhir pada keharaman” [Fathul Bari II/436]

[6]. Terkena Najis

Orang yang isbal tidak aman dari najis, bahkan kemungkinan besar najis menempel dan mengenai sarungnya tanpa ia sadari, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya: Naikkan sarungmu karena hal itu lebih menunjukkan ketakwaan dalam lafazh yang lain lebih suci dan bersih” [Hadits Riwayat Tirmidzi dalam Syamail 97, Ahmad 5/364, dishohihkan oleh Al-Albani dalam Mukhtashar Syama’il Muhammadiyyah hal. 69]

[F]. SYUBHAT DAN JAWABANNYA

Orang yang membolehkan isbal melontarkan syubhat yang cukup banyak, di antara yang sering muncul ke permukaan adalah mendakwa bahwa isbal dibolehkan jika tidak sombong. Oleh karena itu penulis perlu menjawab dalil-dalil yang biasa mereka gunakan untuk membolehkan isbal jika tidak bermaksud sombong.

Pertama: Hadits Ibnu Umar

Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa yang melabuhkan pakaiannya karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat!" Abu Bakar bertanya, "Ya Rasulullah, sarungku sering melorot kecuali bila aku menjaganya!" Rasulullah menjawab, "Engkau bukan termasuk orang yang melakukannya karena sombong."[Hadits Riwayat Bukhari 5784]

Mereka berdalil dengan sabda Rasulullah, "Engkau bukan termasuk orang yang melakukannya karena sombong.", bahwasanya isbal tidak sombong dibolehkan?!

Jawaban:

Berkata Syaikh Al-Albani: “Dan termasuk perkara yang aneh, ada sebagian orang yang mempunyai pengetahuan tentang Islam, mereka berdalil bolehnya memanjangkan pakaian atas dasar perkatan Abu Bakar ini. Maka aku katakan bahwa hadits di atas sangat jelas bahawa Abu Bakar sebelumnya tidak memanjangkan pakaiannya, sarungnya selalu melonggar tanpa kehendak dirinya dengan tetap berusaha untuk selalu menjaganya. Maka apakah boleh berdalil dengan perkataan ini sementara perbezaannya sangat jelas bagaikan matahari di siang hari dengan apa yang terjadi pada diri Abu Bakar dan orang yang selalu memanjangkan pakaiannya? Kita memohon kepada Allah keselamatan dari hawa nafsu. (As-Shahihah 6/401). Kemudian Syaikh berkata di tempat yang lain: “Dalam hadits riwayat Muslim, Ibnu Umar pernah lewat di hadapan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sedangkan sarungnya (seluarnya) melonggar, Rasulullah menegur Ibnu Umar dan berkata, "Wahai Abdullah, naikkan sarungmu!". Apabila Ibnu Umar saja yang termasuk sahabat yang mulia dan utama, Nabi tidak tinggal diam terhadap sarungnya yang melonggar (melondeh) bahkan memerintahkannya untuk mengangkat sarung tersebut, bukankah ini menunjukkan bahwa isbal itu tidak berkaitan dengan sombong atau tidak sombong?! [Mukhtashar Syamail Muhammadiyyah hal. 11]
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

”Artinya: Sesungguhnya pada yang demikian ini benar-benar terdapat peringatan bagi orang yang mempunyai hati atau apa yang menggunakan pendengarannya, sedang ia menyaksikannya” [Qoof: 37]

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata: “Dan adapun orang yang berhujjah dengan hadits Abu Bakar, maka kita jawab dari dua sisi. "Pertama, bahwa salah satu sisi sarung Abu Bakar kadang melondeh tanpa disengaja, maka beliau tidak menurunkan sarungnya atas kehendak dirinya dan ia selalu berusaha menjaganya. Sedangkan orang yang mendakwa bahawa dirinya isbal karana tidak sombong, mereka menurunkan pakaian mereka karena kehendak mereka sendiri. Oleh karena itu, kita katakan kepada mereka, 'Jika kalian menurunkan pakaian kalian di bawah mata kaki tanpa niat sombong, maka kalian akan diadzab dengan apa yang turun di bawah mata kaki dengan Neraka. Jika kalian menurunkan pakaian karana sombong, maka kalian akan diadzab dengan siksa yang lebih pedih, iaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan berbicara kepada kalian, tidak dilihat oleh-Nya, tidak disucikan oleh-Nya dan bagi kalian adzab yang pedih”. Yang kedua, Abu Bakar mendapat komentar dan tazkiah dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa ia bukan termasuk orang yang sombong, maka, apakah kalian juga mendapat tazkiah dan komentar yang serupa?" [Fatawa Ulama Balad Haram hal. 1140]
”Ertinya: Maka ambillah hal itu untuk menjadi pelajaran, hai orang yang mempunyai pandangan” [Al-Hasyr: 2]

Kedua: Mereka yang membolehkan isbal jika tidak sombong, menyangka bahwa hadits-hadits larangan isbal yang bersifat mutlak (umum), harus ditaqyid (dikaitkan) ke dalil-dalil yang menyebutkan lafazh khuyala' (sombong), sesuai dengan kaidah ushul fiqh, "Hamlul Mutlak 'alal Muqoyyad Wajib" (membawa nash yang mutlak ke muqoyyad adalah wajib).

Jawaban:

Kita katakan kepada mereka, “Itulah sejauh-jauhnya pengetahuan mereka. [An-Najm: 30]

Kemudian kaidah ushul "Hamlul Muthlaq 'alal Muqoyyad" adalah kaedah yang telah disepakati dengan syarat-syarat tertentu. Untuk lebih jelasnya, mari kita semak perkataan ahlul ilmi dalam masalah ini.

Berkata Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah: “Isbal pakaian apabila karena sombong maka hukumannya Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat, tidak mengajak bicara dan tidak mensucikannya, serta baginya adzab yang pedih. Adapun apabila tidak karena sombong, maka hukumannya disiksa dengan neraka apa yang turun melebihi mata kaki, berdasarkan hadits.

Dari Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah Sallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Ada tiga golongan yang tidak akan diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat dan bagi mereka adzab yang pedih: orang yang memanjangkan pakaiannya, yang suka mengungkit-ungkit pemberian dan orang yang melariskan dagangannya dengan sumpah palsu”. Juga sabdanya : “Barangsiapa yang melabuhkan pakaiannya karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat, Adapun yang isbal karena tidak sombong, maka hukumannya sebagaimana dalam hadits: “Apa saja yang dibawah kedua mata kaki di dalam Neraka”. Dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mentaqyidnya dengan sombong atau tidak, maka tidak boleh mentaqyid hadits ini berdasarkan hadits yang lalu. Juga Abu Sa'id Al-Khudri Radhiyallahu ‘anhu telah berkata bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Keadaan sarung seorang muslim hingga setengah betis, tidaklah berdosa bila memanjangkannya antara setengah betis hingga di atas mata kaki, dan apa yang turun di bawah mata kaki, maka bagiannya di neraka, barangsiapa yang menarik pakaiannya karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya”.

Di dalam hadits ini, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan dua permisalan dalam satu hadits, dan ia menjelaskan perbedaan hukum keduanya karena perbedaan balasannya. Keduanya berbeda dalam perbuatan dan berbeda dalam hukum dan balasan. Maka selama hukum dan sebabnya berbeda, tidaklah boleh membawa yang mutlak ke muqoyyad (khusus), di antara syaratnya adalah bersatunya dua nash dalam satu hukum, apabila hukumnya berbeda, maka tidaklah ditaqyid salah satu keduanya dengan yang lain. Oleh karena itu ayat tayammum yang berbunyi: ”Basuhlah mukamu dan tanganmu dengan tanah” tidak ditaqyid dengan ayat wudhu, “Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai siku” maka tayammum itu tidak sampai siku, karena mengharuskan perlawanan”[As’ilah Muhimmah hal, 29-30, Lihat pula Fatawa Syaikh Utsaimin 2/921, Isbal Lighoiril khuyala hal. 26]

Kesimpulannya; Kaedah "Membawa nash yang mutlak ke muqoyyad wajib" adalah kaidah yang telah muttofak alaihi (disepakati) pada keadaan bersatunya hukum dan sebab. Maka tidak boleh membawa nash yang mutlak ke muqoyyad apabila hukum dan sebabnya berbeda, atau hukumnya berbeza dan sebabnya sama! [Lihat Ushul Fiqh Al-Islamy 1/217 karya Dr Wahbah Az-Zuhaili]

[G]. KESIMPULAN

Dari perbahasan di atas, dapat disimpulkan:

[1]. Isbal adalah memanjangkan pakaian hingga menutupi mata kaki, baik karena sombong maupun tidak, dan hal ini haram dilakukan bagi laki-laki.

[2]. Batasan pakaian seorang laki-laki ialah setengah betis, dan dibolehkan hingga di atas mata kaki, tidak lebih.

[3]. Hukum isbal itdak berlaku bagi wanita, bahkan mereka disyari'atkan menurunkan pakaiannya hingga sejengkal di bawah mata kaki.

[4. Isbal pakaian tidak hanya sarung, berlaku bagi setiap jenis pakaian berupa celana, gamis, jubah, sorban dan segala sesuatu yang menjulur ke bawah.

[5]. Isbal karena sombong adalah dosa besar, oleh karena itu pelakunya berhak tidak dilihat oleh Allah pada hari kiamat, tidak disucikan-Nya, dan baginya adzab yang pedih.

[6]. Isbal jika tidak sombong maka baginya adzab neraka apa yang turun di bawah mata kaki.

[7]. Isbal memiliki beberapa kemungkaran, sebagaimana telah berlalu penjelasannya
[8]. Dakwaan sebahagian orang yang melakukan isbal dengan alasan tidak sombong merupakan dakwaan yang tidak boleh diterima. Maka bagi mereka, kami sarankan untuk memperdalam ilmu dan merujuk kalam ulama dalam masalah ini.

Sabtu, 7 Julai 2007

TOPIC 012 - WAKTU SAHUR DAN IMSAK MENURUT PERTIMBANGAN AS-SUNNAH

Kandungan artikel telah dikemaskini dan dipindahkan ke website baru kami di link berikut, http://www.ilmusunnah.com/126-sahur-itu-penuh-barakah/

Maaf atas segala kesulitan.

Rabu, 4 Julai 2007

Topic 011 - Download Video Sifat Solat Nabi (Plus! Buku Solat + Wudhu’ + Tayammum)

Download Video Sifat Solat Nabi (Plus! Buku Solat + Wudhu’ + Tayammum)

As-Salaamu ‘alaikum,

Alhamdulillah, kalau sebelum ini, saya dapat compiled berkenaan Doa-doa dan Zikir-zikir Rasulullah s.a.w., kali ni saya telah siap upload-kan berkenaan solat.

Saya kira, dan berdasarkan pemerhatian saya sendiri secara peribadi, masih ramai lagi masyarakat di luar sana (secara umum) yang masih gagal menghayati practical solat dan wudhu’ dengan kaedah yang sebenarnya iaitu berdasarkan practical yang diajarkan Rasulullah s.a.w. melalui riwayat (hadis) yang tsabit atau sahih.

Kalau kita teliti, andaikata ada seramai sepuluh (10) orang sedang mengambil wudhu’ lalu seterusnya menunaikan solat berjema’ah. Pasti anda akan melihat bahawa setiap satu mereka membawakan bentuk practical (perlaksanaan) solat atau wudhu’ yang berbeza-beza. Saya maksudkan adalah “tidak seragam”. Persoalan inilah yang perlu diberi perhatian. “Kenapa tidak seragam?” Sama-samalah kita semak dan muhasabah.

Dalam kebanyakan para pendakwah kita sibuk menyerukan daulah Islamiyah dan Jihad menentang kuffat atau sekular, sebenar-nya kita masih tercicir dengan asas yang paling utama ini, iaitu solat dengan sempurna. Adakah kerana kita mengutamakan jihad dan perjuangan daulah, membenarkan sehingga kita meremehkan bab solat dan wudhu’? Membiarkan amalan solat dan wudhu’ hanya sekadar ala kadar? Padahal, persoalan solat pada hakikatnya merupakan persoalan rukun dan kesempurnaan agama selepas persoalan dasar Aqidah (rujuk blog aqidah – http://aqidah-wa-manhaj.blogspot.com).

Tidak ingatkah anda, bagaimana Bilal Bin Rabah disiksa oleh tuan-nya? Bagaimana Keluarga Yasir disiksa dan dibunuh? Adakah nabi segera menghantarkan tentera dan melaungkan seruan jihad? Seperti yang kita sedia maklum, adalah tidak.

Nabi s.a.w. menitik-beratkan persoalan ilmu dan asas. Nabi s.a.w. menitik-beratkan persoalan pembinaan asas dan akidah. Antaranya adalah persoalan kesempurnaan solat.

Jika persoalan asas pun masih tidak mampu kita kuasai, mana mungkin kita mampu menang?

Oleh itu, di samping keumuman kerja-kerja yang lain, marilah kita sama-sama menyemak kembali persoalan kesempurnaan solat dan wudhu’ kita.

Renungilah sahabat-sahabatku, andaikata seorang paderi bergelar “Mother Terressa” itu menghafal al-Qur’an tiga puluh (30) juzuk sekalipun, namun, jika dia tidak beriman dengan aqidah Islam yg haq, maka... ke-manakah dia? Anda sedia maklum bukan?

Renungilah jua wahai sahabat-sahabat, sebagaimana hebatnya Abu Thalib membela Muhammad s.a.w. dari ancaman puak kafir Jahiliyyah dengan sedaya upayanya... namun, ke manakah beliau? Oleh itu, janganlah kita remehkan persoalan dasar keislaman kita ini dengan menganggapnya sebegai persoalan furu’, remeh temeh, dan seumpamanya. Saya percaya, ramai di kalangan mereka diluar sana walaupun yang menggelarkan diri mereka sebagai pejuang Islam di luar sana, sebenarnya masih jahil dalam kebanyakan bab solat ini.

InsyaAllah, jika ada kesempatan, selepas ini saya akan bawakan pula persoalan solat musafir, solat ketika sibuk, solat jamak, solat qasar, solat dalam uzur, solat di atas kenderaan, Solat sambil berjalan, dan seumpamanya.

Allahu a’lam.

“Solatlah kamu, sebagaiman kamu melihat aku (Baginda s.a.w) bersolat”. (Hadis Riwayat Bukhari, 631)

Topic 010 - Hadis Dha‘if: Hukum dan Syarat Pengamalannya

Hadis Dha‘if: Hukum dan Syarat Pengamalannya

1. Kata-Kata al-Imam al-Nawawi.
2. Pendapat para ilmuan berkenaan pengamalan hadis dha‘if
3. Syarat-syarat pengamalan hadis dha‘if:

- Ulasan kepada syarat pertama
- Ulasan kepada syarat kedua.
- Ulasan kepada syarat ketiga

4. Memberi prioriti kepada hadis sahih dan hasan
5. Hadis dha‘if tidak boleh dijadikan ukuran nilai sesuatu amal
6. Rujukan

Dalam risalah ini penulis akan cuba mengupas isu beramal dengan hadis yang dha‘if. Kupasan ini adalah bersifat umum tanpa terhad kepada bebrapa isu sahaja kerana terdapat banyak amalan kita di Malaysia yang disandarkan kepada hadis-hadis yang dha‘if.

1. Kata-Kata al-Imam al-Nawawi.

Kebanyakan orang yang membolehkan penggunaan hadis dha‘if menyandarkan hujah mereka kepada kata-kata al-Imam al-Nawawi rahimahullah (676H):[1]

Berkata para ilmuan daripada kalangan ahli hadis, ahli fiqh dan selain mereka, dibolehkan – bahkan disunatkan beramal dengan hadis dha‘if dalam bab keutamaan (al-Fadha’il), memberi anjuran (al-Targhib) dan amaran (al-Tarhib) asalkan ianya bukan hadis maudhu’.

Adapun dalam bab hukum-hakam seperti halal dan haram, jual-beli, penceraian dan apa-apa lain yang seumpama, tidak boleh beramal dengan hadis dha‘if kecuali dengan hadis yang sahih atau hasan. Melainkan jika hadis-hadis tersebut bersangkutan dengan sikap berhati-hati terhadap bab-bab tersebut, seperti hadis dha‘if yang menyebutkan makruhnya hukum melakukan sebahagian bentuk jual-beli atau pernikahan, maka disunatkan untuk menghindari daripadanya (yang makruh tersebut) namun ia tidak jatuh kepada hukum wajib.

Ada yang menerima kata-kata al-Imam al-Nawawi di atas sebulat-bulatnya, bahkan menganggap mudah bahawa pengamalan hadis dha‘if diperbolehkan asalkan ianya bukan hadis maudhu’. Sebenarnya terdapat beberapa syarat yang perlu diperhatikan oleh seseorang sebelum dia boleh mengamalkan hadis dha‘if. Syarat-syarat ini juga diketahui dan dipegang oleh al-Imam al-Nawawi, hanya beliau tidak menggariskannya dalam kitabnya al-Azkar kerana kitab tersebut bukanlah kitab ilmu hadis tetapi kitab yang dipermudahkan untuk menjadi amalan orang ramai. Hal ini seperti yang disebutkan sendiri oleh al-Imam al-Nawawi di bahagian muqaddimah kitab al-Azkarnya tersebut.

2. Pendapat para ilmuan berkenaan pengamalan hadis dha‘if

Dalam kata-kata al-Imam al-Nawawi di atas, beliau menyebut bahawa: “Berkata para ilmuan daripada kalangan ahli hadis, ahli fiqh dan selain mereka, dibolehkan – bahkan disunatkan beramal dengan hadis dha‘if……” Kata-kata di atas sebenarnya bukan mencerminkan pandangan ijma’ tetapi jumhur ilmuan Islam. Hal ini diterangkan oleh al-Hafiz al-Sakhawi rahimahullah (902H):[2]

……bahawa dalam pengamalan hadis dha‘if terdapat tiga pendapat: (yang pertama adalah) tidak dibolehkan beramal dengannya secara mutlak, (yang kedua adalah) boleh beramal dengannya jika dalam bab tersebut tidak ada yang selainnya (tidak ada hadis yang sahih atau hasan) dan yang ketiga – ini merupakan pendapat jumhur – boleh beramal dengannya dalam bab keutamaan asalkan bukan dalam bab hukum-hakam sepertimana yang telah disebutkan sebelum ini akan syarat-syaratnya.

3. Syarat-syarat pengamalan hadis dha‘if.

Sepertimana yang dikatakan oleh al-Hafiz al-Sakhawi di atas, jumhur ilmuan membolehkan penggunaan hadis dha‘if dalam bab keutamaan beramal selagi mana diperhatikan syarat-syaratnya. Syarat-syarat tersebut dikemukakan oleh beliau seperti berikut:[3]

Saya mendengar guru kami rahimahullah (yakni al-Hafiz Ibn Hajar al-Asqalani, 852H) selalu berkata, bahkan telah mencatitkannya dengan tulisannya untuk saya bahawa syarat pengamalan hadis dha‘if ada tiga:

1. Yang disepakati, bahawa kelemahan hadis tersebut tidak berat. Maka terkeluarlah apa yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang dusta atau dituduh sebagai pemalsu hadis serta yang parah kesalahannya.

2. Bahawa ianya mencakupi asas umum (agama). Maka terkeluarlah sesuatu yang diada-adakan kerana tidak memiliki dalil asas yang mengasaskannya.

3. Bahawa ia diamalkan tanpa berkeyakinan ia adalah sabit (daripada Nabi), agar tidak disandarkan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam apa yang tidak disabdakan olehnya.

Seterusnya marilah kita mengulas lanjut tiga syarat di atas.

3.1 Ulasan kepada syarat pertama

Hadis dha‘if yang diperbolehkan penggunaannya ialah hadis yang ringan kelemahannya. Maka dari sini dapat kita ketahui bahawa setiap hadis yang ingin digunakan, sekalipun untuk tujuan keutamaan beramal dan memberi anjuran serta amaran, perlu dirujuk kepada sumbernya yang asal dan disemak darjatnya. Ini kerana tanpa merujuk kepada sumbernya yang asal dan menyemak darjatnya, kita tidak akan mengetahui sama ada kelemahannya adalah ringan atau berat. Dirujuk kepada sumbernya yang asal bererti mencari hadis tersebut dalam kitab-kitab hadis sama ada ia benar-benar wujud atau tidak. Disemak darjatnya bererti dikaji sanadnya sama ada ianya sahih atau tidak. Jika ianya tidak sahih, maka disemak sama ada kelemahannya adalah ringan atau berat. Jika kelemahannya ringan maka ia lulus syarat yang pertama ini, jika kelemahannya adalah berat maka ia gagal.

Di sini penulis merasa perlu untuk membetulkan salah faham masyarakat, termasuk para da’i, penceramah, penulis dan ilmuan yang selain daripada ahli hadis, yang berpendapat boleh menggunakan apa jua hadis asalkan ia duduk di dalam bab keutamaan beramal (al-Fadha‘il) dan memberi anjuran serta amaran (al-Targhib wa al-Tarhib). Mereka tidak menyemak asal-usul hadis tersebut sama ada ia wujud atau tidak dalam kitab-kitab hadis yang lengkap dengan sanadnya. Lebih memberatkan, mereka tidak memberi perhatian langsung kepada darjatnya. Setiap hadis yang mereka temui dalam bab ini disampaikan terus dalam kuliah-kuliah atau karya-karya mereka.

Ini sebenarnya adalah kesalahan yang amat berat. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah bersabda, maksudnya: “Sesiapa yang menceritakan (atau meriwayatkan) satu hadis dan dia pandang hadis tersebut sebagai dusta, maka dia termasuk dalam salah seorang pendusta.” [Shahih Muslim, muqaddimah] Terhadap hadis ini, al-Imam Ibn Hibban rahimahullah (354H) menukil daripada al-Imam Abu Hatim rahimahullah:[4]

Dalam hadis ini terdapat dalil yang membenarkan apa yang kami sebut, bahawa apabila seseorang itu meriwayatkan sebuah hadis yang tidak sah daripada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, apa sahaja hadis yang disandarkan kepada baginda, padahal dia mengetahui bahawa ia tidak sah, (maka) dia termasuk salah seorang pendusta.

Malah maksud zahir hadis ini adalah lebih berat kerana baginda shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Sesiapa yang menceritakan (atau meriwayatkan) satu hadis dan dia pandang hadis tersebut sebagai dusta…”, baginda tidak mengatakan bahawa orang tersebut yakin bahawa hadis tersebut adalah dusta (tetapi sekadar memandangnya sebagai dusta). Maka setiap orang yang ragu-ragu sama ada yang diriwayatkannya itu adalah sahih atau tidak sahih termasuk dalam zahir perbicaraan hadis ini.

Perkara yang sama juga disebut oleh al-Imam al-Thohawi rahimahullah (321H):[5]

Sesiapa yang menyampaikan hadis daripada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berdasarkan sangkaan, bererti dia menyampaikan hadis daripada baginda secara tidak benar. (Sesiapa yang) menyampaikan hadis daripada baginda secara tidak benar bererti dia menyampaikan hadis daripada baginda secara batil. (Sesiapa yang) menyampaikan hadis daripada baginda secara batil (maka) dia berdusta ke atas baginda sebagaimana seorang pendusta hadis. Mereka termasuk dalam sabdanya shallallahu 'alaihi wasallam: “Sesiapa yang berdusta ke atas aku maka hendaklah dia mengambil tempat duduknya di dalam neraka.” Kami berlindung daripada Allah Ta‘ala daripada yang sedemikian.

Berdasarkan syarat yang pertama ini, hendaklah kita pastikan bahawa setiap hadis yang digunakan untuk tujuan keutamaan beramal dan memberi anjuran serta amaran memiliki sumber rujukannya serta dijelaskan darjatnya. Tidak boleh disampaikan sesuatu hadis dengan sangkaan ia memiliki rujukan dan darjat yang paling rendah adalah ringan kelemahannya kerana sangkaan seperti ini termasuk dalam kategori mendustakan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.

Umpamakan hal ini seperti seorang jurujual yang mempromosi sebuah buku. Dia menceritakan kepada para pelanggannya bahawa buku tersebut adalah baik serta banyak maklumat yang benar lagi besar manfaatnya. Padahal si jurujual itu sendiri pada asalnya tidak pernah membaca buku tersebut untuk membezakan sama ada ia adalah baik atau tidak, jauh sekali daripada mengkaji maklumat di dalamnya sama ada ia adalah benar atau tidak. Nah, apa yang dipromosikan oleh si jurujual ini terbuka kepada kemungkinan benar dan salah. Namun oleh kerana dia tetap membuat promosi tanpa menerangkan hakikat yang sebenar, dia sebenarnya berdusta kepada para pelanggannya.

Demikianlah juga dengan seseorang yang menyampaikan hadis Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tanpa dia sendiri mengetahui asal usul dan darjatnya. Apa yang disampaikannya terbuka kepada kemungkinan benar atau salah. Namun apabila dia tetap menyampaikan hadis tersebut dan menyandarkannya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, dia juga dikira berdusta ke atas baginda. Oleh itu hendaklah kita sentiasa peka kepada syarat yang pertama ini, sama ada kita adalah sebagai penyampai atau penerima hadis-hadis Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Pastikan ia memiliki sumber rujukan dan dijelaskan darjatnya. Jika syarat yang pertama ini tidak dipenuhi, hendaklah hadis tersebut ditinggalkan sekalipun ia memiliki kedudukan yang masyhur di kalangan masyarakat.

3.2 Ulasan kepada syarat kedua.

Hadis dha‘if tidak boleh digunakan untuk menetapkan sesuatu amalan, perintah atau larangan. Peranan hadis dha‘if tidak lain sekadar menerangkan keutamaan satu amalan yang telah ditetapkan oleh al-Qur’an dan/atau hadis yang sahih. Hadis dha‘if juga tidak boleh digunakan untuk menganjur atau melarang sesuatu perkara melainkan perkara tersebut telah tetap hukumnya daripada al-Qur’an dan/atau hadis yang sahih. Syaikh al-Islam Ibn Taimiyyah rahimahullah (728H) berkata:[6]

Berkata (al-Imam) Ahmad bin Hanbal, apabila datang (persoalan) halal dan haram kami memperketatkan semakan sanad dan apabila datang (persoalan) memberi anjuran dan amaran (al-Targhib wa al-Tarhib) kami memudahkan semakan sanad. (Ibn Taimiyyah mengulas lanjut): Demikianlah apa yang disepakati oleh para ilmuan tentang beramal dengan hadis dha‘if dalam keutamaan beramal. Ia tidaklah bermaksud menetapkan hukum sunat berdasarkan hadis yang tidak boleh dijadikan hujah dengannya (kerana ia adalah dha‘if). Ini kerana “sunat” merupakan hukum syari‘at yang tidak boleh ditetapkan melainkan dengan dalil syari‘at juga. Sesiapa yang mengkhabarkan daripada Allah bahawasanya Dia menyukai (menyunatkan) sesuatu amal tanpa dalil syari‘i maka sungguh dia telah mensyari‘atkan dalam agama apa yang tidak diizinkan Allah.

Sebagai contoh, hadis-hadis berkenaan puasa pada bulan Rejab dan solat khusus pada malam-malam tertentu bulan Rejab semuanya tidak ada yang sahih. Syaikh Sayid Sabiq menegaskan:[7]

Berkenaan puasa pada bulan Rejab, tidak ada kelebihan yang menonjol (tentang bulan Rejab) berbanding bulan-bulan lain, kecuali bahawa ia termasuk daripada bulan-bulan haram (yakni bulan Zulqa‘idah, Zulhijjah, Muharram dan Rejab). Tidak diterima dalam sunnah yang sahih bahawa berpuasa dalam bulan Rejab memiliki keutamaan yang khusus. Adapun apa yang datang tentangnya (keutamaan berpuasa pada bulan Rejab), ia tidak dapat dipertanggungjawabkan sebagai hujah. Berkata (al-Hafiz) Ibn Hajar (al-Asqalani), tidak diterima (apa-apa) hadis yang sahih yang dapat dijadikan hujah tentang keutamaannya (bulan Rejab), mahupun tentang puasanya dan puasa pada hari-hari tertentu daripadanya mahupun solat pada malam yang tertentu daripadanya.

Apabila tidak wujud hadis yang sahih yang menetapkan wujudnya “Puasa sunat Rejab” dan “Solat malam Rejab yang ke sekian-sekian hari”, hadis-hadis yang menerangkan keutamaan berpuasa dan bersolat pada bulan Rejab tidak memiliki apa-apa nilai. Yang lebih penting, ia tidak boleh dijadikan dalil untuk menghukum sunat berpuasa dan bersolat secara khusus kerana bulan Rejab.

Sebenarnya terdapat banyak lagi amalan yang dilakukan oleh umat Islam berdasarkan hadis yang dha‘if tanpa diperhatikan sama ada amalan tersebut terlebih dahulu telah ditetapkan atau tidak oleh dalil al-Qur’an dan/atau hadis yang sahih. Setakat ini berdasarkan ulasan kepada syarat yang pertama dan kedua, hendaklah setiap orang yang ingin beramal dengan hadis dha‘if menyemak terlebih dahulu bahawa:

1. Hadis yang ingin dijadikan sumber amalan memiliki rujukan dalam kitab yang asal dan telah disemak bahawa ia sekurang-kurangnya memiliki darjat kelemahan yang ringan.

2. Amalan tersebut telah ditetapkan berdasarkan dalil al-Qur’an dan/atau hadis yang sahih manakala hadis yang lulus syarat pertama di atas tidak lain hanyalah untuk menerangkan keutamaan amalan tersebut.

3.3 Ulasan kepada syarat ketiga

Apabila menggunakan hadis dha‘if yang telah memenuhi dua syarat yang pertama di atas, hendaklah diingati bahawa tidak boleh berkeyakinan hadis tersebut adalah sabit daripada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Berdasarkan syarat yang ketiga ini, para ahli hadis telah menetapkan bahawa hadis yang dha‘if tidak boleh disandarkan sebutannya kepada diri Rasulullah secara jelas tetapi perlu diisyaratkan kelemahannya.

Misalnya, tidak boleh berkata: “Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah bersabda bahawa……” tetapi hendaklah berkata: “Dalam kitab Mu’jam al-Kabir oleh al-Imam al-Thabarani, terdapat sebuah hadis dha‘if yang berbunyi ……” atau apa-apa lain yang seumpama. Al-Imam al-Nawawi menjelaskan:[8]

Berkata para ilmuan peneliti (al-Muhaqqiqun) daripada kalangan ahli hadis dan selain mereka, apabila sebuah hadis adalah dha‘if tidak boleh dikatakan terhadapnya “Telah bersabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam …” atau “Rasulullah telah berbuat…” atau “Rasulullah telah memerintahkan…” atau “Rasulullah telah melarang…” atau “Rasulullah telah menghukum…” dan apa-apa lain yang menyerupainya daripada bentuk kalimah yang menunjukkan kepastian.

Demikian juga, tidak boleh dikatakan terhadap (hadis dha‘if tersebut) “Diriwayatkan oleh Abu Hurairah…” atau “Berkata Abu Hurairah…” atau “Disebut oleh Abu Hurairah…” atau “Dikhabarkan oleh Abu Hurairah…” atau “Dihadiskan oleh Abu Hurairah…” atau “Dinukil oleh Abu Hurairah…” dan apa-apa lain yang menyerupainya. Demikian juga, tidak boleh dikatakan yang seumpama terhadap para tabi’in dan orang-orang sesudah mereka terhadap apa yang dha‘if. Tidak boleh berkata terhadap apa jua riwayat yang dha‘if dengan kalimah yang menunjukkan kepastian.

Sesungguhnya yang (boleh) dikatakan hanyalah “Diriwayatkan daripadanya…” atau “Dinukil daripadanya…” atau “Dihikayatkan daripadanya…” atau “Didatangkan daripadanya…” atau “Disampaikan daripadanya…” ……… dan apa yang menyerupainya daripada kalimah yang menunjukkan kelemahan, tidak daripada kalimah yang menunjukkan kepastian.

Mereka (para ilmuan peneliti) berkata, kalimah yang menunjukkan kepastian ditujukan untuk hadis yang sahih atau hasan manakala kalimah yang menunjukkan kelemahan ditujukan kepada apa yang selain daripada kedua-dua (bukan hadis sahih dan bukan hadis hasan).

Amat penting untuk mengisyaratkan kedha‘ifan hadis tersebut agar:

1. Orang ramai dapat mengetahui bahawa si penyampai telah menyemak sumber dan darjat hadis tersebut,

2. Orang ramai tidak menganggapnya sebagai sebuah hadis yang sahih,

3. Orang ramai tidak menetapkan hukum berdasarkan hadis tersebut,

4. Seandainya wujud kemusykilan dalam maksud hadis tersebut, ia tidak mengelirukan orang ramai kerana mereka tahu ia tidak sahih.

Jika syarat ketiga ini tidak diperhatikan, orang ramai tidak akan dapat membezakan antara hadis yang sahih dan tidak sahih. Akibatnya mereka akan mengamalkan hadis tersebut sebagai sumber hukum dan menyebarkannya kepada masyarakat dengan anggapan ia adalah benar dan baik. Akhirnya ia akan menjadi masyhur dan sebati di dalam masyarakat dan menganggapnya sebahagian daripada syari‘at Islam. Ini sama-sama dapat kita perhatikan di negara kita sendiri masa kini. Al-Hafiz Ibn Hajar al-Asqalani rahimahullah mengingatkan tentang natijah buruk ini kira-kira 500 tahun yang lalu:[9]

Sedia dikenali bahawa para ahli ilmu mempermudahkan penerimaan hadis dalam bab keutamaan (al-Fadha’il) sekalipun di dalamnya memiliki kelemahan selagi mana ia bukan hadis maudhu’. Namun disyaratkan bagi orang yang mengamalkannya bahawa dia yakin hadis tersebut adalah dha‘if dan dia tidak memasyhurkannya kerana dibimbangi seseorang lain akan beramal dengan hadis yang dha‘if tersebut (tanpa mengetahui ia adalah dha‘if) sehingga mensyari‘atkan apa yang tidak disyari‘atkan atau dia meriwayatkannya kepada sebahagian orang yang jahil sehingga disangkakan ia adalah sunnah yang sahih.

Demikianlah ulasan kepada tiga syarat penting yang perlu diperhatikan oleh setiap orang yang ingin menggunakan hadis dha‘if. Apabila sesebuah hadis telah lulus tiga syarat di atas, terdapat dua perkara tambahan yang perlu diperhatikan, iaitu:

4. Memberi prioriti kepada hadis sahih dan hasan

Jika di dalam sebuah bab terdapat hadis-hadis yang sahih, hasan dan dha‘if, maka hendaklah seseorang itu memberi prioriti kepada yang sahih dan hasan sahaja. Sebabnya:

1. Hadis yang sahih dan hasan adalah sabit daripada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam manakala hadis yang dha‘if masih terbuka kepada kemungkinan benar dan salah. Maka berpegang kepada yang pasti adalah lebih utama daripada yang diragui.

2. Menyibukkan diri dengan hadis yang dha‘if lazimnya akan menyebabkan hadis yang sahih dan hasan terpinggir. Ini kerana setiap individu memiliki kemampuan yang terhad. Jika kemampuan itu dipenuhi dengan menyibukkan diri dengan hadis dha‘if, maka hadis yang sahih dan hasan akan tercicir daripada dirinya.

Poin kedua di atas pernah diulas oleh al-Imam ‘Abd al-Rahman bin Mahdi rahimahullah (198H): [10]

Tidaklah wajar seseorang itu menyibukkan dirinya dengan menulis hadis-hadis yang dha‘if kerana kesibukannya itu akan mengakibatkan tercicirnya hadis daripada para perawi yang thiqah (terpercaya = hadis sahih) sebanyak hadis daripada perawi lemah yang ditulisnya.

Izinkan penulis memberi satu contoh. Setiap tahun ketika tibanya Nisfu Sya’ban, ada di antara kita yang berpuasa, bersolat malam, membaca surah Yasin tiga kali dengan doa tertentu di antaranya dan pelbagai lagi. Semua amalan ini sebenarnya tidak pernah ditetapkan oleh al-Qur’an dan al-Sunnah yang sahih. Hadis-hadis yang menganjurkannya tidak ada yang sahih dan tidak boleh dijadikan dasar bagi menetapkan sesuatu amalan. Syaikh Yusuf al-Qaradhawi hafizahullah menukil kata-kata al-Imam Ibn al-‘Arabi rahimahullah (543H) dalam persoalan ini:[11]

Tidak ada sebuah hadis jua yang dipercayai kesahihannya mengenai keutamaan malam Nisfu Sya’ban. Jika kita (hendak) menerima hadis-hadis yang menerangkan keutamaan malam Nisfu Sya’ban dan kita hendak memperingatinya dengan amal kebajikan, maka hal ini tidak pernah berasal daripada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mahupun daripada para sahabat radhiallahu ‘anhum dan kaum muslimin abad-abad pertama. Padahal mereka semua termasuk umat Islam yang terbaik.

Daripada semua sumber tersebut tidak ada riwayat yang menerangkan bahawa malam Nisfu Sya’ban diperingati dengan berkumpul di masjid-masjid, membaca doa-doa tertentu dan melakukan solat-solat khusus seperti yang kita saksikan di beberapa negeri kaum muslimin. Bahkan di beberapa negeri sejumlah orang berkumpul sesudah solat Maghrib di masjid-masjid lalu membaca surah Yasin, solat dua rakaat dengan niat memohon panjang umur, ditambah dua rakaat lagi dengan doa dijauhkan ketergantungan hidup daripada orang lain, kemudian mereka membaca doa panjang lebar yang tidak berasal daripada seorang pun daripada kalangan Salaf. Doa yang mereka baca itu pula menyalahi nas-nas (al-Qur’an dan al-Sunnah) serta mengandungi hal-hal yang saling berlawanan maksudnya.

Dalam kesibukan kita membaca, menyebar dan mengamalkan hadis-hadis yang dha‘if berkenaan malam Nisfu Sya’ban, kita telah keciciran sebuah hadis yang sahih mengenainya. Hadis tersebut ialah: “Allah akan memperhatikan semua makhluk pada malam Nisfu Sya’ban, maka Dia mengampuni semua makhluknya kecuali orang musyrik dan yang bermusuhan (sesama sendiri).”

Hadis ini diriwayatkan oleh al-Imam Ibn Hibban, berkata Syaikh Syu‘aib al-Arna’uth hafizahullah dalam semakannya ke atas Shahih Ibn Hibban (Muassasah al-Risalah, Beirut 1997) jld. 12, ms. 481, no: 5665: “Hadis sahih bi syawahid.” Hadis ini juga dihimpun oleh al-Imam al-Munziri rahimahullah (656H) dalam kitabnya al-Targhib wa al-Tarhib (Dar Ibnu Katsir, Damsyik 1999), jld. 2, ms. 51, no: 1517. Berkata para penyemak: Shaikh Samir Ahmad al-‘Athar, Yusuf Ali Badiwi & Muhyiddin Dibb Matsu: “Sahih bi syawahid.” Berkata Syaikh al-Albani dalam Shahih al-Targhib wa al-Tarhib (Maktabah al-Ma‘arif, Riyadh 2000), jld. 1, ms. 597, no: 1026: “Hasan Sahih.”

Sama-sama kita bertanya kepada diri kita, adakah kita mengetahui tentang hadis ini? Adakah selama ini hadis di atas tersembunyi atau tercicir daripada pengetahuan kita kerana selama ini kita sibuk dengan pelbagai hadis lain, yang tidak satu jua yang sahih, berkenaan malam Nisfu Sya’ban? Lebih jauh, sudahkah kita mengamalkan hadis ini?

Mengamalkan hadis ini bukanlah dengan berpuasa, bersolat malam, berzikir, berdoa dan sebagainya. Akan tetapi beramal dengannya ialah kita melayakkan diri kita supaya memperoleh pengampunan Allah Subhanahu wa Ta‘ala pada malam Nisfu Sya’ban. Terdapat dua syarat kelayakan, yang pertama kita lulus, alhamdulillah. Yang kedua perlu kita pastikan bahawa kita tidak bermusuhan dengan sesiapa di kalangan umat Islam. Jika ada, mungkin saudara, jiran, rakan kerja dan sebagainya, hendaklah kita bermaafan dan menghubungkan semula silraturahim. Inilah cara “mengamalkan” hadis sahih di atas berkenaan malam Nisfu Sya’ban.

5. Hadis dha‘if tidak boleh dijadikan ukuran nilai sesuatu amal

Kepentingan atau keburukan sesuatu amal tidak boleh diukur berdasarkan hadis-hadis dha‘if sahaja. Sering kali para penulis dan penceramah begitu ghairah menyampaikan hadis-hadis dha‘if dalam memberi anjuran dan amaran tanpa disedari bahawa anjuran dan amaran tersebut nilainya telah dilebih-lebihkan daripada apa yang sepatutnya. Mereka menganggap hal ini akan memberi manfaat kepada umat tetapi yang benar adalah di sebaliknya. Ganjaran yang dibesar-besarkan kepada amalan yang kecil akan mengakibatkan seseorang itu meremehkan agama, dengan anggapan memadailah dia membuat amalan yang sedikit kerana ganjarannya sudah lebih dari mencukupi. Sedangkan amaran yang dibesar-besarkan terhadap kesalahan yang kecil akan menyebabkan seseorang itu menjauhkan diri daripada Allah dan merasa putus asa daripada keampunan-Nya. Syaikh Yusuf al-Qaradhawi menerangkan hal ini dengan lebih lanjut:[12]

Hadis-hadis yang memberi anjuran dan amaran (al-Targhib wa al-Tarhib), sekalipun tidak memuat hukum halal atau haram, ia memuat sesuatu lain yang sangat penting dan berbahaya, iaitu ia merosakkan nilai amal atau kewajiban yang telah ditentukan oleh Pembuat syari'at Yang Maha Bijaksana. Setiap amal yang diperintahkan ataupun dilarang memiliki “nilai” tertentu di sisi Pembuat syari'at dalam kaitannya dengan amal-amal yang lain. Kita tidak boleh melampaui had yang telah ditentukan oleh Pembuat syari'at sama ada dengan menurun atau menaikkannya.

Di antara hal yang sangat berbahaya ialah memberi nilai sebahagian amalan lebih besar dan banyak daripada ukurannya yang sebenar dengan membesar-besarkan pahalanya sehingga mengalahkan amalan lain yang lebih penting dan lebih tinggi derajatnya dalam pandangan agama. Demikian juga memberikan kepentingan kepada amalan yang dilarang dengan membesar-besarkan seksanya sehingga mengalahkan amalan lainnya.

Membesar-besarkan dan melebih-lebihkan janji pahala dan ancaman siksa akan mengakibatkan rosaknya gambaran agama di mata sebahagian orang karena mereka akan menyandarkan apa yang mereka dengar atau baca tersebut kepada agama padahal agama itu sendiri bebas dari semua itu. Seringkali tindakan melebih-lebihkan, terutama dalam soal ancaman, akan menimbulkan akibat yang sebaliknya dan kegoncangan jiwa. Bahkan seringkali orang yang berlebih-lebihan itu akan menjauhkan diri mereka daripada-Nya (kerana putus asa dan merasa tidak layak memperoleh keampunan Allah ke atas kesalahan-kesalahan yang dilakukan)

Kita wajib menjaga amal perbuatan sesuai dengan tingkatan-tingkatannya yang telah digariskan oleh syari‘at tanpa terjerumus ke dalam tindakan melebih-lebihkan. Ini hanya akan membawa kita kepada salah satu dari dua bentuk pelampauan, sama ada yang menambah atau mengurang, sebagaimana yang dikatakan oleh ‘Ali bin Abu Thalib radhiallahu 'anh: “Kalian harus mengambil sikap pertengahan, yang kepadanya orang tertinggal harus disusulkan dan kepadanya pula orang yang berlebihan harus dikembalikan.

Berdasarkan tiga syarat pengamalan hadis dha‘if dan dua perkara tambahan yang perlu diperhatikan, sama-sama dapat diambil iktibar bahawa menggunakan hadis dha‘if tidaklah semudah yang disangka. Hadis-hadis Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam adalah salah satu sumber syari‘at di sisi al-Qur’an al-Karim. Maka kita perlu berinteraksi dengannya melalui disiplin-disiplin yang telah digariskan oleh para ahli hadis. Apa yang Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sabdakan berkenaan agama tidak lain adalah wahyu Allah. Apabila kita bersikap leka dalam berinteraksi dengan hadis-hadis baginda, kita bukan sahaja mendedahkan diri kepada kemungkinan berdusta di atas nama Rasulullah tetapi juga berdusta di atas nama Allah.

Oleh itu hendaklah setiap individu memberi perhatian khusus dalam bab ini. Jangan menerima sebarang hadis sekalipun yang menyampaikannya adalah orang yang masyhur di mata masyarakat. Pastikan bahawa setiap hadis yang disampaikan mematuhi syarat-syarat di atas. Apabila membaca buku-buku agama, pastikan setiap hadis diberikan rujukan, lengkap dengan nombor hadis dan bab. Jangan berpuas hati dengan catitan “Hadis riwayat al-Bukhari” atau “HR Muslim” kerana terdapat sebahagian penulis yang berbuat demikian padahal hadis tersebut tidak wujud di dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim.

Apabila mendengar khutbah, kuliah, ceramah dan sebagainya, jangan segan-segan bertanya kepada penyampainya: “Ustaz, hadis yang ustaz sebut itu siapa yang meriwayatkannya dan apa darjatnya?” atau apa-apa lain yang seumpama. Setiap mukmin yang bertanggungjawab terhadap Allah dan Rasul-Nya berhak untuk bertanya dan setiap penyampai yang bertanggungjawab terhadap Allah dan Rasul-Nya tidak boleh merasa ego untuk menjawab. Akan tetapi jika penyampai tersebut tidak ingat pada saat itu, berilah dia tempoh untuk menyemak semula agar dia dapat menjelaskannya pada masa yang akan datang.

Tanpa berlebih-lebihan, penulis menganjurkan para pembaca sekalian meninggalkan mana-mana penulis dan penyampai agama yang tidak berdisiplin dalam mengemukakan hadis-hadis Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Kita perlu bertegas dalam hal ini, bukan sahaja supaya amalan kita sentiasa berada di atas ukuran yang benar tetapi supaya para penulis dan penyampai tersebut tidak mengambil mudah perkara ini.

6. Rujukan:

[1] al-Azkar (diteliti oleh ‘Amr bin ‘Ali Yasin; Dar Ibn Khuzaimah, Riyadh 2001), ms. 53
[2] al-Qaul al-Badi’ fi Fadhli Shalat ‘ala al-Habib al-Syafi’ (diteliti oleh Muhammad ‘Awwamah; Muassasah al-Rayan, Beirut 2002), ms. 473
[3] al-Qaul al-Badi’, ms. 472
[4] al-Majruhin min al-Muhadditsin (diteliti oleh Hamidi bin ‘Abd al-Rahman; Dar al-Shomi‘in, Riyadh 2000), jld. 1, ms. 16-17
[5] Musykil al-Atsar (diteliti oleh Muhammad ‘Abd al-Salah Syahin; Dar al-Kutub al-Ilmiah, Beirut 1995), jld. 1, ms. 123
[6] Majmu’ al-Fatawa (Dar al-Wafa’, Kaherah 2001), jld. 18, ms. 65
[7] Fiqh al-Sunnah (Dar al-Fath, Kaherah 1999), jld. 1, ms. 516
[8] al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab (diteliti oleh Muhammad Najib Ibrahim; Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi, Beirut 2001), jld. 1, ms. 134
[9] Tabyin al-‘Ujab bi ma warada fi Fadhli Rejab, ms. 3-4; dinukil daripada Tamam al-Minnah fi al-Ta’liq ‘ala Fiqh al-Sunnah oleh Syaikh al-Albani rahimahullah (1999) (Dar al-Rayah, Riyadh 1409H), jld. 1, ms. 36
[10] Diriwayatkan oleh al-Khatib al-Baghdadi (463H) dalam al-Kifayah fi ‘Ilm al-Riwayah (Maktabah al-‘Alamiyah, Madinah), ms. 132
[11] Fatawa Mu‘ashirah (edisi terjemahan oleh al-Hamid al-Husaini dengan judul Fatwa-Fatwa Mutakhir; Pustaka Hidayah, Bandung 1996), ms. 480-481
[12] al-Muntaqa min Kitab al-Targhib wa al-Tarhib li al-Munziri (Dar al-Wafa’, Kaherah 1993), jld. 1, ms. 49-50