Imam asy-Syafi'i rahimahullah (Wafat: 204H) menegaskan, “Tidak ada seorang pun melainkan ia wajib bermazhab dengan sunnah Rasulullah dan mengikutinya. Apa jua yang aku ucapkan atau tetapkan tentang sesuatu perkara (ushul), sedangkan ucapanku itu bertentangan dengan sunnah Rasulullah, maka yang diambil adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Dan demikianlah ucapanku (dengan mengikuti sabda Rasulullah).” (Disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam I’lam al-Muwaqq’in, 2/286)
__________________________________________________________________________________

| Nawawi | Aqeedah | Fiqh | Anti Syirik | Galeri Buku | Galeri MP3 | U-VideOo |
__________________________________________________________________________________

Ahad, 24 Ogos 2008

113 - WAKTU UNTUK BERPUASA


Pada awalnya para sahabat Nabiyul ummi Muhammad Shalallahu 'alaihi wasallam jika berpuasa dan hadir di dalam waktu berbuka, mereka akan makan dan minum serta menjima’i isterinya selama belum tidur. Namun jika seseorang di antara mereka tidur sebelum menyantap makan malamnya (berbuka) dia tidak boleh melakukan sedikitpun perkara-perkara di atas, kemudian Allah dengan keluasan rahmat-Nya, memberikan rukhshah sehingga orang yang tertidur disamakan hukumnya dengan orang yang tidak tidur, hal ini diterangkan dengan jelas melalui hadis berikut:

Dari al-Barraa' bin Ajib radhiallahu 'anhu berkata: “Dahulu sahabat Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam jika salah seorang di antara mereka berpuasa dan tiba waktu berbuka, tetapi tertidur sebelum berbuka, tidak diperbolehkan makan malam dan siangnya hingga malam lagi. Sungguh Qais bin Shirmah al-Anshary pernah berpuasa, ketika tiba waktu berbuka beliau mendatangi isterinya kemudian berkata: “Apakah engkau memiliki makanan?” Istrinya menjawab: “Tidak”. Namun aku akan pergi mencarinya untukmu, dia bekerja pada hari itu hingga mengantuk dan tertidur. Ketika isterinya kembali dan melihatnya, isterinya pun berkata: “Khaibah (diharamkan) untukmu ketika pertengahan hari”. Dia pun terbangun, kemudian menceritakan perkara tersebut kepada Nabi hingga turunlah ayat ini yang ertinya:

“Dihalalkan bagimu pada malam hari bulan Ramadhan bercampur (berjima’) dengan isteri-isterimu.” (Surah al-Baqarah, 2: 187)

Mereka sangat gembira dan turun pula: (yang ertinya) “Dan makan dan minumlah sehingga terang kepadamu benang putih dari benang hitam dari fajar.” (Hadis Riwayat al-Bukhari (4/911))

Inilah rahmat rabbani yang dicurahkan oleh Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada hamba-hamba-Nya yang berkata: “Kami mendengar dan taat wahai Rabb kami, ampunilah dosa kami, kepada-Mu lah kami kembali” yakni dengan memberikan batasan waktu puasa: batasan yang dimulai dari terbitnya fajar sehingga hilangnya siang dengan datangnya malam, dengan kata lain hilangnya bundaran matahari di ufuk.

1. Benang Putih dan benang Hitam

Ketika turun ayat tersebut sebahagian sahabat Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam sengaja mengambil Iqol hitam dan putih (tali yang digunakan untuk mengikat Unta “Mashabih”) kemudian mereka letakkannya di bawah bantal-bantal mereka, atau mereka ikatkan di kaki mereka. Dan mereka terus makan dan minum hingga jelas dalam melihat keduanya iqol/bebenang tersebut (membezakan di antara yang putih dari yang hitam)

Dari Adi bin Hatim radhiallahu 'anhu berkata: “Ketika turun ayat: “Jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam”.”

Aku mengambil iqol hitam digabungkan dengan iqol putih, aku letakkan di bawah bantalku, kalau malam aku terus melihatnya hingga jelas bagiku, pagi harinya aku pergi menemui Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam dan kuceritakan padanya perbuatanku tersebut. Beliaupun berkata: “Maksud ayat tersebut adalah hitamnya malam dan putihnya siang”. (Hadis Riwayat al-Bukhari (4/133), Muslim (1090))

Dari Sahl bin Sa'ad radhiallahu 'anhu berkata, ketika turun ayat: “Makan dan minumlah hingga jelas bagi kalian benag putih dari benang hitam.”

Ada seorang lelaki jika ingin puasa, mengikatkan benang hitam dan putih di kakinya, dia terus makan dan minum hingga jelas melihat kedua benang tersebut. Kemudian Allah turunkan ayat: “Kerana terbitnya fajar”, mereka akhirnya tahu yang dimaksudkan adalah hitam (gelapnya) malam dan terang (putihnya) siang”. (Hadis Riwayat al-Bukhari (4/114) dan Muslim (1091))

Setelah melalui penjelasan tersebut, sungguh telah dijelaskan oleh Rasul Shalallahu 'alaihi wasallam kepada sahabatnya batasan untuk membezakan serta sifat-sifat tertentu, hingga tidak ada lagi ruang untuk ragu atau tidak mengetahuinya.

Bagi Allah-lah mutiara penyair: Tidak benar sedikitpun dalam akal jikalau siang memerlukan bukti.

2. Ada Dua Fajar

Di antara hukum yang dijelaskan oleh Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam dengan penjelasan yang jelas, bahawasanya fajar itu ada dua:

1. Fajar Yang Kadzib, iaitu tidak dibolehkan ketika itu solat subuh, dan belum diharamkan bagi yang berpuasa untuk makan dan minum.

2. Fajar Shadiq, iaitu yang mengharamkan makan bagi yang berpuasa, dan sudah dibolehkan untuk melaksanakan solat subuh.

Dari Ibnu Abbas radhallahu 'anhuma: Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam bersabda (yang ertinya): “Fajar itu ada dua: Yang pertama tidak mengharamkan makan (bagi yang puasa), tidak halal solat (subuh) ketika itu, yang kedua: mengharamkan makan dan telah dibolehkan solat ketika terbit fajar tersebut.” (Hadis Riwayat Ibnu Khuzaimah (3/210), al-Hakim (1/191 dan 495), al-Daruquthni (2/165), al-Baihaqi (4/261) dari jalan Sufyan dari Ibnu Juraij dari Atha' dari Ibnu Abbas. Sanadnya sahih)

Perlu untuk difahami di sini bahawa:

1. Fajar kadzib adalah warna putih yang memancar panjang yang menjulang seperti ekor binatang gembalaan.

2. Fajar shadiq adalah warna yang memerah yg bersinar dan tampak di atas puncak di bukit dan gunung-gunung, dan tersebar di jalanan dan di jalan raya serta di atap-atap rumah, fajar inilah yang berkaitan dengan hukum-hukum puasa dan solat.

Dari Samurah radhiallahu 'anhu, Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam bersabda (yang ertinya): “Janganlah kalian tertipu oleh azannya Bilal dan jangan pula tertipu oleh warna putih yang memancar ke atas melintang.” (Hadis Riwayat Muslim (1094))

Dari Thalq bin Ali: Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam bersabda (yang ertinya): “Makan dan minumlah, jangan kalian tertipu oleh fajar yang memancar ke atas, makan dan minumlah sehingga warna merah membentang.” (Hadis Riwayat at-Tirmidzi (3/76), Abu Daud (2/304), Ahmad (4/66), Ibnu Khuzaimah (3/211) dari jalan Abdullah bin Nu'man dari Qais bin Thalaq dari bapaknya, Sanadnya sahih)

Bahawasanya sifat-sifat fajar shadiq adalah yang bertepatan dengan ayat yang mulia: “Hingga jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam kerana fajar.”

Kerana cahaya fajar jika membentang di ufuk di atas lembah dan gunung-gunung akan tampak seperti benang putih, dan akan tampak di atasnya benang hitam yakni sisa-sisa kegelapan malam yang pergi menghilang.

Jika telah jelas situasi tersebut kepada kita, maka berhentilah dari makan, minum dan berjima', sekiranya di tangan kita masih ada gelas berisi air atau minuman, minumlah dengan tenang. Kerana itu merupakan rukhshah (keringanan) yang besar dari Dzat Yang Paling Pengasih kepada hamba-hamba-Nya yang berpuasa, minumlah walaupun engkau telah mendengar azan:

Raslullah Shalallahu 'alaihi wasallam bersabda (yang ertinya): “Jika salah seorang kalian mendengar azan padahal gelas ada di tangannya, janganlah ia segera meletakkannya hingga memenuhi hajatnya.” (Hadis Riwayat Abu Daud (235), Ibnu Jarir (3115), al-Hakim (1/426), al-Baihaqi (2/218), Ahmad (3/423), dari jalan Hamad dari Muhammad bin Amr dari Abi Salamah dari Abu Hurairah. Sanadnya hasan)

Yang dimaksudkan sebagai azan di dalam hadis di atas adalah azan subuh yang kedua kerana telah terbitnya fajar shadiq dengan dalil tambahan riwayat, yang diriwayatkan oleh Ahmad (2/510), Ibnu Jarir ath-Thabari (2/102) dan selain keduanya setelah hadis di atas.

“Dahulu seorang muadzin melakukan azan ketika terbit fajar.”

Yang mendukung makna seperti ini adalah riwayat Abu Umamah radhiallahu 'anhu: “Telah dikumandangkan iqomah solat di mana ketika itu di tangan Umar masih ada gelas, dia berkata: “Boleh aku meminumnya ya Rasulullah? Rasulullah bersabda: Ya minumlah.” (Hadis Riwayat Ibnu Jarir (2/102) dari dua jalan dari Abu Umamah)

Jelaslah bahawa menghentikan makan sebelum terbit fajar shadiq dengan dalih Ihtiyath (hati-hati) adalah perbuatan bid'ah yang diada-adakan.

Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata di dalam Fathul Bari (4/199): “Termasuk perbuatan bid'ah yang mungkar adalah yang diada-adakan pada zaman ini, iaitu mengumandangkan azan kedua sepertiga jam sebelum waktunya di bulan Ramadhan, serta memadamkan lampu-lampu yang dijadikan sebagai tanda telah haramnya makan dan minum bagi orang yang mahu berpuasa, mereka menganggap perbuatan ini dalam rangka ihtiyath (langkah berhati-hati) dalam ibadah, tidak ada yang mengetahuinya kecuali beberapa bilangan manusia saja, hal ini telah menyeret mereka sehingga melakukan azan ketika telah terbenam matahari beberapa peringkat, untuk meyakinkan telah masuknya waktu (menurut sangkaan mereka) mereka mengakhirkan (melambatkan) berbuka dan menyegerakan sahur, sehingga menyelisihi sunnah, oleh kerana itu sedikit pada mereka kebaikan dan keburukan pun banyak tersebar pada mereka, Allahul Musta'an.

Kami katakan: Bid'ah ini, yakni menghentikan makan (imsak) sebelum fajar dan mengakhirkan (melewatkan) waktu berbuka, tetap ada dan terus berlangsung di zaman ini, kepada Allahlah kita mengadu.

3. Kemudian menyempurnakan Puasa hingga malam

Jika telah datang malam dari arah timur, menghilangnya siang dari barat dan matahari telah terbenam berbukalah orang yang berpuasa.

Dari Umar radhiallahu 'anhu berkata Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam bersabda (yang ertinya): “Jika malam datang dari sini, siang menghilang dari sini, dan apabila terbenam matahari telah berbukalah orang yang puasa.” (Hadis Riwayat al-Bukhari (4/171), Muslim (1100))

Perkataanya: “Telah berbukalah orang yang puasa” yakni dari sisi hukum bukan kenyataan, kerana telah masuk waktu puasa.

Perkara ini berlaku setelah terbenamnya matahari, walaupun sinarnya masih ada (kelihatan). Ia termasuk di dalam petunjuk Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam. Jika beliau berpuasa, beliau menyuruh seseorang untuk naik ke suatu ketinggian, jika orang berkata: “Matahari telah terbenam”, beliau pun berbuka. (Hadis Riwayat al-Hakim (1/434), Ibnu Khuzaimah (2061) disahihkan oleh al-Hakim menurut syarat al-Bukhari & Muslim. Perkataan aufa, yakni naik atau melihat)

Sebahagian orang menyangka malam itu tidak terwujud langsung setelah terbenamnya matahari, tapi masuknya malam setelah kegelapan menyebar di timur dan di barat. Sangkaan seperti ini pernah terjadi kepada sahabat Rasulullah, kemudian mereka diberi pemahaman bahawa cukup dengan adanya awal gelap dari timur setelah hilangnya bundaran matahari.

Dari Abdullah bin Abi Aufa radhiallahu 'anhu: “Kami pernah bersama Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam dalam satu safar ketika itu kami berpuasa (di bulan Ramadhan) ketika terbenam matahari Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam bersabda kepada sebahagian kaum: “Wahai fulan, (dalam riwayat Abu Daud: “Wahai bilal) berdiri ambilkan kami air”. “Wahai Rasulullah kalau engkau tunggu sore (dalam riwayat: “kalau engkau tunggu hingga sore, dalam riwayat lain: Matahari) Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Turun ambilkan air, Bilal pun turun, kemudian Nabi minum. Beliau bersabda: “Kalau kalian melihatnya niscaya akan kalian lihat dari atas unta, yakni: Matahari, kemudian beliau melemparkan (dalam riwayat: berisyarat dengan tangannya). (Dalam riwayat al-Bukhari & Muslim: berisyarat dengan telunjuknya ke arah kiblat) kemudian berkata: “Jika kalian melihat malam telah datang dari sini maka telah berbuka orang yang puasa.” (Hadis Riwayat al-Bukhari (4/199), Muslim (1101), Ahmad (4/381), Abu Daud (2352))

Telah ada riwayat yang menegaskan bahawa para sahabat Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam mengikuti perkataannya, dan perbuatan mereka sesuai dengan perkataan Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam, Abu Said al-Khudri berbuka ketika tenggelam (hilangnya) bundaran matahari. (Diriwayatkan oleh al-Bukhari dengan Mu'allaq (4/196)).

Sesuatu yang wajib difahami bahawa,

Hukum-hukum puasa yang diterangkan di atas adalah berkaitan dengan pandangan mata manusia, tidak boleh bertakalluf atau berlebih-lebihan dengan mengintai hilal dan mengawasi dengan alat-alat (teknologi) perbintangan (astrologi) yang baru, atau berpegangan dengan ramalan ahli nujum yang menyelewengkan kaum muslimin dari sunnah Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam, sehingga menjadikan sebab sedikitnya kebaikan pada mereka, wallahu a'lam.

Seterusnya,

Di sebahagian negeri umat Islam, para muadzin menggunakan jadual-jadual (takwim) waktu solat yang telah berlalu lebih dari beberapa tahun... sehinggakan mereka mengakhirkan (melewatkan) berbuka puasa dan menyegerakan sahur, akhirnya mereka menentang petunjuk Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam yang mengerakan berbuka dan melewatkan bersahur.

Di negeri-negeri seperti ini ada sekelompok orang yang bersemangat di dalam mengamalkan sunnah dengan berbuka berpedoman pada matahari dan sahur berpedoman kepada fajar. Jika terbenam matahari mereka berbuka, jika terbit fajar shadiq (sebagaimana yang telah dijelaskan) mereka menghentikan makan dan minum, inilah perbuatan syar’i yang sahih yang tidak diragukan lagi, barangsiapa yang menyangka mereka menyelisihi sunnah, telah berprasangka salah, tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah. Jelaslah, bahawa ibadah puasa berkaitan dengan matahari dan fajar, jika ada orang yang menyelisihi kaedah ini, maka sebenarnya mereka telah salah. Azan adalah pemberitahuan masuknya waktu, dan tetap mengamalkan segala dasar dan prinsip yang diajarkan oleh Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam sebagai petunjuk dan pegangan.

Tiada ulasan: